CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pesan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Selamat Datang di Blog Siti is Sitong!
Semoga bermanfaat.
Terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Jumat, 28 Oktober 2011

Akulturasi Kebudayaan Hindu-pra Hindu dan Islam-pra Islam

Bentuk-bentuk akulturasi kebudayaan :
a.           Hindu dan pra Hindu di Indonesia
b.           Islam dan pra Islam di Indonesia

a.      Hindu dan pra Hindu di Indonesia
Indonesia sebagai daerah yang dilalui jalur perdagangan memungkinkan bagi para pedagang India untuk sungguh tinggal di kota pelabuhan-pelabuhan di Indonesia guna menunggu musim yang baik. Mereka pun melakukan interaksi dengan penduduk setempat di luar hubungan dagang. Masuknya pengaruh budaya dan agama Hindu-Budha di Indonesia dapat dibedakan atas 3 periode sebagai berikut.
1. Periode Awal (Abad V-XI M)
Pada periode ini, unsur Hindu-Budha lebih kuat dan lebih terasa serta menonjol sedang unsur/ciri-ciri kebudayaan Indonesia terdesak. Terlihat dengan banyak ditemukannya patung-patung dewa Brahma, Wisnu, Siwa, dan Budha di kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara dan Mataram Kuno.
2. Periode Tengah (Abad XI-XVI M)
Pada periode ini unsur Hindu-Budha dan Indonesia berimbang. Hal tersebut disebabkan karena unsur Hindu-Budha melemah sedangkan unsur Indonesia kembali menonjol sehingga keberadaan ini menyebabkan munculnya sinkretisme (perpaduan dua atau lebih aliran). Hal ini terlihat pada peninggalan zaman kerajaaan Jawa Timur seperti Singasari, Kediri, dan Majapahit. Di Jawa Timur lahir aliran Tantrayana yaitu suatu aliran religi yang merupakan sinkretisme antara kepercayaan Indonesia asli dengan agama Hindu-Budha.
Raja bukan sekedar pemimpin tetapi merupakan keturunan para dewa. Candi bukan hanya rumah dewa tetapi juga makam leluhur.
3. Periode Akhir (Abad XVI-sekarang)
Pada periode ini, unsur Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan periode sebelumnya, sedangkan unsur Hindu-Budha semakin surut karena perkembangan politik ekonomi di India. Di Bali kita dapat melihat bahwa Candi yang menjadi pura tidak hanya untuk memuja dewa. Roh nenek moyang dalam bentuk Meru Sang Hyang Widhi Wasa dalam agama Hindu sebagai manifestasi Ketuhanan Yang Maha Esa. Upacara Ngaben sebagai objek pariwisata dan sastra lebih banyak yang berasal dari Bali bukan lagi dari India.

AKULTURASI
Masuknya budaya Hindu-Budha di Indonesia menyebabkan munculnya Akulturasi. Akuturasi adalah perpaduan antara kebudayaan yang berbeda yang berlangsung dengan damai dan serasi dimana kedua unsur kebudayaan bertemu dapat hidup berdampingan dan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut. Kebudayaan Hindu-Budha yang masuk di Indonesia tidak diterima begitu saja melainkan melalui proses pengolahan dan penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena:
1. Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia.

2. Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau local genius merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu-Budha melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Indonesia.
Wujud akulturasi tersebut adalah berikut ini:
1. Bahasa
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia.

Penggunaan bahasa Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu bertulis) peninggalan kerajaan Hindu - Budha pada abad 5 - 7 M, contohnya prasasti Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya 7 - 13 M. Untuk aksara, dapat dibuktikan adanya penggunaan huruf Pallawa, kemudian berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa Kuno. Sedangkan di kerajaan Sriwijaya huruf Pallawa berkembang menjadi huruf Nagari. Perkembangannya pada masa sekarang menjadi aksara Jawa serta aksara Bali.

2. Religi/Kepercayaan

Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha masuk ke Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme.
Dengan masuknya agama Hindu - Budha ke Indonesia, masyarakat Indonesia mulai menganut/mempercayai agama-agama tersebut. Agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, atau dengan kata lain mengalami Sinkritisme. Sinkritisme adalah bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu. Untuk itu agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu - Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut dilihat dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India. Contoh yang lain adalah
berkembangnya aliran Tantrayana di Jawa Timur seperti yang dilakukan Kertanegara dari Singasari yang merupakan penjelmaaan Siwa. Kepercayaan terhadap roh leluhur masih terwujud dalam upacara kematian dengan mengadakan kenduri 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari, serta masih banyak hal-hal yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.

3. Organisasi Sosial Kemasyarakatan

Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India.

Sebelum masuknya Hindu-Budha di Indonesia dikenal sistem pemerintahan oleh kepala suku yang dipilih karena memiliki kelebihan tertentu jika dibandingkan anggota kelompok lainnya. Dengan adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah oleh seorang raja secara turun temurun.

Raja dianggap sebagai keturuanan dari dewa yang memiliki kekuatan, dihormati, dan dipuja. Sehingga memperkuat kedudukannya untuk memerintah wilayah kerajaan secara turun temurun, dan meninggalkan sistem pemerintahan kepala suku. Selain itu, Raja di Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya raja-raja yang memerintah di Singosari seperti Kertanegara diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya Raja Majapahit diwujudkan sebagai Harhari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi satu).

Pemerintahan Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di India dan ada juga yang menerapkan prinsip musyawarah. Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak mempunyai putra mahkota yaitu seperti yang terjadi di kerajaan Majapahit, pada waktu pengangkatan Wikramawardana.Wujud akulturasi di samping terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta.

Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana (golongan Pendeta), kasta Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan), kasta Waisya (golongan pedagang) dan kasta Sudra (golongan rakyat jelata).
Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh umat Hindu Indonesia tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India karena kasta India benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Indonesia tidak demikian, karena di Indonesia kasta hanya diterapkan untuk upacara keagamaan.
4. Perhitungan Waktu (Kalender)

Wujud akulturasi Indonesia dengan Hindu juga tampak pada perhitungan waktu berdasarkan kalender tahun saka, tahun dalam kepercayaan Hindu, yang diadopsi dari sistem kalender/penanggalan India. Hal ini terlihat dengan adanya penggunaan tahun Saka di Indonesia. Tercipta kalender dengan sebutan tahun Saka yang dimulai tahun 78 M (merupakan tahun Matahari, tahun Samsiah) pada waktu raja Kanishka I dinobatkan jumlah hari dalam 1 tahun ada 365 hari. Oleh orang Bali, tahun Saka tidak didasarkan pada sistem Surya Pramana tetapi sistem Chandra Pramana (tahun Bulan, tahun Kamariah) dalam 1 tahun ada 354 hari. Musim panas jatuh pada hari yang sama dalam bulan Maret dimana matahari, bumi, bulan ada pada garis lurus. Hari tersebut dirayakan sebagai Hari Raya Nyepi.
Di samping adanya pengetahuan tentang kalender Saka, juga ditemukan perhitungan tahun Saka dengan menggunakan Candrasangkala/Kronogram dalam rangka memperingati suatu peristiwa. Candrasangkala adalah susunan kalimat atau gambar yang dapat dibaca sebagai angka. Bila berupa gambar harus diartikan dalam bentuk kalimat. Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti yang ditemukan di pulau Jawa, dan menggunakan kalimat bahasa Jawa. Salah satu contohnya yaitu kalimat Sirna Ilang Kertaning Bhumi apabila diartikan sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4 dan bhumi = 1, maka kalimat tersebut diartikan dan belakang sama dengan tahun 1400 saka atau sama dengan 1478 M yang merupakan tahun runtuhnya Majapahit .
5. Filsafat
Lahir Astrologi yaitu pengetahuan yang berkaitan dengan alam semesta/ astronomi.
Contoh : orang memberi nama anak berdasarkan hari, tanggal, bulan lahirnya.
Adanya buku primbon sebagai pedoman hidup dan tatanan tradisi yang semula hanya merupakan catatan turun temurun. Ajaran Hindu-Budha penuh dengan upacara keagamaan. Falsafah agama tersebut mengajarkan hal-hal yang bersifat pasifistis yaitu ajaran yang menuju pada kehidupan damai, menerima apa yang menjadi takdir karena semuanya ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
6. Bidang Pendidikan
Masuknya Hindu-Budha juga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab sebelumnya masyarakat Indonesia belum mengenal tulisan. Namun dengan masuknya Hindu-Budha, sebagian masyarakat Indonesia mulai mengenal budaya baca dan tulis.
Bukti pengaruh dalam pendidikan di Indonesia yaitu :
a. Dengan digunakannya bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Bahasa tersebut terutama digunakan di kalangan pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah mulai digunakan bahasa Kawi, bahasa Jawa Kuno, dan bahasa Bali Kuno yang merupakan turunan dari bahasa Sansekerta.
b. Telah dikenal juga sistem pendidikan berasrama (ashram) dan didirikan sekolah-sekolah khusus untuk mempelajari agama Hindu-Budha. Sistem pendidikan tersebut kemudian diadaptasi dan dikembangkan sebagai sistem pendidikan yang banyak diterapkan di berbagai kerajaan di Indonesia.
c. Bukti lain tampak dengan lahirnya banyak karya sastra bermutu tinggi yang merupakan interpretasi kisah-kisah dalam budaya Hindu-Budha. Contohnya Empu Sedah dan Panuluh dengan karyanya Bharatayudha.
d. Pengaruh Hindu Budha nampak pula pada berkembangnya ajaran budi pekerti berlandaskan ajaran agama Hindu-Budha. Pendidikan tersebut menekankan kasih sayang, kedamaian dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai dikenal dan diamalkan oleh sebagian masyarakat Indonesia saat ini.
e. Para pendeta awalnya datang ke Indonesia untuk memberikan pendidikan dan pengajaran mengenai agama Hindu kepada rakyat Indonesia. Mereka datang karena berawal dari hubungan dagang. Para pendeta tersebut kemudian mendirikan tempat-tempat pendidikan yang dikenal dengan pasraman. Di tempat inilah rakyat mendapat pengajaran. Karena pendidikan tersebut maka muncul tokoh-tokoh masyarakat Hindu yang memiliki pengetahuan lebih dan menghasilkan berbagai karya sastra. Rakyat Indonesia yang telah memperoleh pendidikan tersebut kemudian menyebarkan pada yang lainnya. Sebagian dari mereka ada yang pergi ke tempat asal agama tersebut. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan melakukan ziarah. Sekembalinya dari sana mereka menyebarkan agama menggunakan bahasa sendiri sehingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat asal.
Agama Budha tampak bahwa pada masa dulu telah terdapat guru besar agama Budha, seperti di Sriwijaya ada Dharmakirti, Sakyakirti, Dharmapala. Bahkan raja Balaputra dewa mendirikan asrama khusus untuk pendidikan para pelajar sebelum menuntut ilmu di Benggala (India)
7.  Budaya dan Teknologi
Masyarakat Indonesia dari sebelum masuknya agama Hindu-Budha sebenarnya sudah memiliki budaya yang cukup tinggi. Dengan masuknya pengaruh budaya Hindu-Budha di Indonesia semakin mempertinggi teknologi yang sudah dimiliki bangsa Indonesia sebelumnya. Pengaruh Hindu-Budha terhadap perkembangan teknologi masyarakat Indonesia terlihat dalam bidang kemaritiman, bangunan dan pertanian.
Perkembangan kemaritiman terlihat dengan semakin banyaknya kota-kota pelabuhan, ekspedisi pelayaran dan perdagangan antar negara. Selain itu, bangsa Indonesia yang awalnya baru dapat membuat sampan sebagai alat transportasi kemudian mulai dapat membuat perahu bercadik.

Perpaduan antara pengetahuan dan teknologi dari India dengan Indonesia terlihat pula pada pembuatan dan pendirian bangunan candi baik candi dari agama Hindu maupun Budha.

Bangunan candi merupakan hasil karya ahli-ahli bangunan agama Hindu-Budha yang memiliki nilai budaya yang sangat tinggi. Selain itu terlihat dalam penulisan prasasti-prasastri pada batu-batu besar yang membutuhkan keahlian, pengetahuan, dan teknik penulisan yang tinggi. Pengetahuan dan perkenalan teknologi yang tinggi dilakukan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Dalam bidang pertanian, tampak dengan adanya pengelolaan sistem irigasi yang baik mulai diperkenalkan dan berkembang pada zaman masuknya Hindu-Budha di Indonesia. Tampak pada relief candi yang menggambarkan teknologi irigasi pada zaman Majapahit.
Selain itu, dalam bidang seni dan budaya terdapat bangunan Candi. Bangunan Candi memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India, karena candi di Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan.
Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan. Bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka.
Di samping itu, dalam bahasa kawi candi berasal dari kata Cinandi artinya yang dikuburkan. Untuk itu yang dikuburkan didalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disimpan dalam Pripih.
Dengan demikian fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan dengan raja yang sudah meninggal. Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan fungsi candi di India adalah untuk tempat pemujaan terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi yang terdapat di kota Benares merupakan tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa.
Candi Singasari adalah salah satu peninggalan kerajaan Singosari yang merupakan tempat dimuliakannya raja Wisnuwardhana yang memerintah tahun 1248 - 1268.
Dilihat dari candi tersebut, bentuk dasarnya adalah punden berundak- undak dan pada bagian bawah terdapat kaki candi yang di dalamnya terdapat sumuran candi, di mana di dalam sumuran candi tersebut tempat menyimpan pripih (lambang jasmaniah raja Wisnuwardhana).
Untuk candi yang bercorak Budha fungsinya sama dengan di India yaitu untuk memuja Dyani Bodhisattwa yang dianggap sebagai perwujudan dewa.
Candi Borobudur adalah candi Budha yang terbesar sehingga merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia dan merupakan salah satu peninggalan kerajaan Mataram dilihat dari 3 tingkatan, pada tingkatan yang paling atas terdapat patung Dyani Budha.Patung-patung Dyani Budha inilah yang menjadi tempat pemujaan umat Budha. Di samping itu juga pada bagian atas, juga terdapat atap candi yang berbentuk stupa.
Untuk candi Budha di India hanya berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama Budha. Dengan demikian seni bangunan candi di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri karena Indonesia hanya mengambil intinya saja dari unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap sesuatu yang bercorak Indonesia.
8.   Kesenian
Seni Bangunan
Dasar bangunan candi itu merupakan hasil pembangunan bangsa Indonesia dari zaman Megalitikum, yaitu bangunan punden berundak-undak. Punden berundak-undak ini mendapat pengaruh Hindu-Budha, sehingga menjadi wujud sebuah candi, contohnya Candi Borobudur. Pada candi disertai pula berbagai macam benda yang ikut dikubur yang disebut bekal kubur sehingga candi juga berfungsi sebagai makam bukan semata-mata sebagai rumah dewa. Sedangkan candi Budha, hanya jadi tempat pemujaan dewa tidak terdapat peti pripih dan abu jenazah ditanam di sekitar candi dalam bangunan stupa.
Seni rupa/Seni lukis
Unsur seni rupa dan seni lukis India telah masuk ke Indonesia.hal ini terbukti dengan ditemukannya patung Budha berlanggam Gandara di kota Bangun, Kutai. Juga patung Budha berlanggam Amarawati ditemukan di Sikendeng (Sulawesi Selatan).
Seni rupa tampak berupa patung dan relief. Patung dapat kita lihat pada penemuan patung Budha berlanggam Gandara di Bangun Kutai. Serta patung Budha berlanggam Amarawati di Sikending (Sulawesi Selatan).
Sedangkan relief-relief  (gambar timbul) pada dinding candi banyak menggambarkan suatu kisah/cerita yang berhubungan dengan ajaran agama Hindu ataupun Budha. Pada Candi Borobudur tampak adanya seni rupa India, dengan ditemukannya relief-relief ceritera Sang Budha Gautama. Relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Budha sedang digoda oleh Mara yang menari-nari diiringi gendang. Relief ini mengisahkan riwayat hidup Sang Budha seperti yang terdapat dalam kitab Lalitawistara. Selain itu, relief pada Candi Borobudur menunjukan suasana alam Indonesia, terlihat dengan adanya lukisan rumah panggung dan hiasan burung merpati. Di samping itu, juga terdapat hiasan perahu bercadik. Lukisan-lukisan tersebut merupakan lukisan asli Indonesia, karena tidak  pernah ditemukan pada candi-candi yang terdapat di India.
Demikian pula halnya dengan candi-candi Hindu. Relief-reliefnya yang juga mengambil kisah yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah Ramayana yang digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi Panataran.
Dari relief-relief tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata Indonesia juga mengambil kisah asli cerita tersebut, tetapi suasana kehidupan yang digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana kehidupan asli keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa Indonesia tidak menerima begitu saja budaya India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di Indonesia.
Seni sastra
Prasasti-prasasti awal yang menunjukkan pengaruh Hindu-Budha di Indonesia yaitu seperti yang ditemukan di Kalimantan Timur, Sriwijaya, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Prasasti itu ditulis dalam bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa.
Untuk wujud akulturasi yang lain dapat dibuktikan dengan adanya suatu ceritera/kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber dari kitab Ramayana yang ditulis oleh Walmiki dan kitab Mahabarata yang ditulis oleh Wiyasa. Kedua kitab tersebut merupakan kitab kepercayaan umat Hindu. Tetapi setelah berkembang di Indonesia tidak sama proses seperti aslinya dari India karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa Jawa kuno. Dan, tokoh-tokoh cerita dalam kisah tersebut ditambah dengan hadirnya tokoh punakawan seperti Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Bahkan dalam kisah Bharatayuda yang disadur dari kitab Mahabarata tidak menceritakan perang antar Pandawa dan Kurawa, melainkan menceritakan kemenangan Jayabaya dari Kediri melawan Jenggala.
Di samping itu juga, kisah Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai suatu ceritera dalam seni pertunjukan di Indonesia yaitu salah satunya pertunjukan Wayang. Seni pertunjukan wayang merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan wayang tersebut sangat digemari terutama oleh masyarakat Jawa. Wujud akulturasi dalam pertunjukan wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon ceritera dari kisah Ramayana maupun Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis dengan aslinya karena sudah mengalami perubahan. Perubahan tersebut antara lain terletak dari karakter atau perilaku tokoh-tokoh ceritera misalnya dalam kisah Mahabarata keberadaan tokoh Durna, dalam cerita aslinya Dorna adalah seorang maha guru bagi Pandawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di Indonesia Dorna adalah tokoh yang berperangai buruk dan suka menghasut.
Selain itu, banyak karya-karya sastra lain yang bermutu tinggi yaitu :
· Bharatayudha karya Empu Sedah dan Panuluh
· Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa
· Smaradhana karya Empu Dharmaja
· Negarakertagama karya Empu Prapanca
· Sutasoma karya Empu Tantular

Sumber :
http://riefqie-yupss.blogspot.com/2009/08/akulturasi-budaya-hindu-budha-islam-di.html
http://pakyoyok.multiply.com/journal/item/6/AKULTURASI_HINDU_BUDHA_DI_INDONESIA

b.      Islam dan pra Islam di Indonesia
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.
1. Seni Bangunan
Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, istana. Wujud akulturasi dari masjid kuno memiliki ciri sebagai berikut:
a. Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan Mustaka.
b. Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia.
c. Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.
Mengenai contoh masjid kuno dapat memperhatikan Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya. Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat pada bangunan makam. Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:
a. makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.
b. makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing,nisannya juga terbuat dari batu.
c. di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba.
d. dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).
e. Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja. Contohnya masjid makam Sendang Duwur di Tuban.
Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan Islam, juga memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur ataupun ragam hias, maupun dari seni patungnya contohnya istana Kasultanan Yogyakarta dilengkapi dengan patung penjaga Dwarapala (Hindu).
2. Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian, ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang distilir. Juga dii Masjid Cirebon yang terdapat pahatan berbentuk harimau. Pahatan berupa gambar tersebut disebut Arabesk
Ukiran ataupun hiasan, selain ditemukan di masjid juga ditemukan pada gapura-gapura atau pada pintu dan tiang. Untuk hiasan pada gapura.
3. Aksara dan Seni Sastra
Tersebarnya agama Islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu atau biasanya dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak menggunakan tandatanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran. Selain itu, juga adanya larangan membuat gambar maupun patung berupa Makhluk Hidup terutama ditempat ibadah
Sedangkan dalam seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu – Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia. Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/ aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu.
Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:
a. Hikayat merupakan dongeng atau cerita rakyat yang sudah ada sebelum masuknya Islam. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Panji Semirang , Hikayat Pandawa Lima (Hindu), dan Hikayat Sri Rama (Hindu).
b. Babad adalah kisah rekaan pujangga keraton yang dianggap sebagai peristiwa sejarah. Babad terkadang memuat silsilah para raja suatu kerajaan Islam. contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Cirebon, dan Babad Ranggalawe.
c. Suluk adalah karya sastra berisi ajaran-ajaran tasawuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang dan sebagainya.
d. Primbon adalah hasil sastra yang sangat dekat dengan Suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan, keajaiban dan penentuan hari baik/buruk.
Bentuk seni sastra tersebut di atas, banyak berkembang di Melayu dan Pulau Jawa.
4. Sosial
v Mulai dikenal sistem demokrasi
v Tidak mengenal adanya sistem kasta
v Tidak mengenal perbedaan gologan dalam masyarakat
5. Sistem Pemerintahan
Dalam pemerintahan, sebelum Islam masuk Indonesia, sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu ataupun Budha, tetapi setelah Islam masuk, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu/Budha mengalami keruntuhannya dan digantikan peranannya oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Demak, Malaka dan sebagainya.
Wujud akulturasi dengan Islam yaitu digunakannya aturan-aturan Islam dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Sistem pemerintahan yang bercorak Islam, rajanya bergelar Sultan atau Sunan seperti halnya para wali dan apabila rajanya meninggal tidak lagi dimakamkan dicandi/dicandikan tetapi dimakamkan secara Islam.
Terbukti dengan adanya :
- Raja Mataram Islam awalnya bergelar Sunan/Susuhunan, artinya dijunjung
- Raja akan diberi Gelar Sultan jika telah diangkat atas persetujuan khalifah yang memerintah di Timur Tengah
- Terdapat gelar lain yaitu Panembahan, Maulana
6. Sistem Kalender
Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Apakah sebelumnya Anda pernah mengetahui/mengenal hari-hari pasaran? Setelah berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam).
Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari pasaran pada kalender saka juga dipergunakan.
Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.
Demikianlah uraian materi tentang wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Islam, sebenarnya masih banyak contoh wujud akulturasi yang lain, untuk itu silahkan diskusikan dengan teman-teman Anda, mencari wujud akulturasi dari berbagai pelaksanaan peringatan hari-hari besar Islam atau upacara-upacara yang berhubungan dengan keagamaan.
7. Filsafat

Setelah Islam lahir berkembanglah Ilmu filsafat yang berfungsi untuk mendukung pendalaman agama Islam.

Ø Abad 8 M, lahir dasar-dasar Ilmu Fikih
Ø Fikih, merupakan ilmu yang mempelajari hukum dan peraturan yang mengatur hak dan kewajiban umat Islam terhadap Tuhan dan sesama manusia. Dengan Fikih diharapkan umat Islam dapat hidup sesuai dengan kaidah Islam.
Ø Abad ke-10 M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf
Ø Qalam, merupakan ajaran pokok Islam tentang keesaan Tuhan, Ilmu teologi/Ilmu ketuhanan/ Ilmu Tauhid.
Ø Asal mula lahirnya tasawuf karena pencarian Allah karena kecintaan dan kerinduan pada Allah.
Ø Tasawuf kemudian berkembang menjadi aliran kepercayaan.


Sumber :


http://riefqie-yupss.blogspot.com/2009/08/akulturasi-budaya-hindu-budha-islam-di.html

http://indonesianto07.wordpress.com/2008/11/09/perkembangan-dan-akulturasi-islam-di-indonesia/

Pidhato Basa Jawa

Mengeti Dinten Bhumi
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera kagem kita sedaya.
Bapak Kepala Sekolah ingkang dahat kinurmatan,
saha Bapak Ibu Guru ingkang kula urmati, tuwin rencang-rencang sedaya ingkang kula tresnani.
Ingkang kaping setunggal, sumangga kita sami-sami ngaturaken puja lan puji syukur dhumateng Gusti Ingkang Maha Agung ingkang sampun ngluberaken rahmat sarta hidayah dhumateng kita sedaya, dene kula lan panjenengan sami saged makempal wonten ing aula SMA Negeri 1 Magelang punika.
Kula aturaken agenging panuwun dhumateng para rawuh ingkang sampun nglonggaraken wekdal kersa ngrawuhi undangan ingkang sampun lumantar dhumateng panjenengan wonten adicara pengetan dinten Bumi punika.
          Para Bapak, para Ibu, sarta rencang-rencang ingkang satuhu bagya mulya, dinten Bumi inggih punika dinten ingkang dipunpengeti dening pendhudhuk bumi supados nggatosaken dhumateng bumi. Dinten Bumi dipunpengeti ing tanggal 22 April. Gagasan mengeti dinten Bumi ingkang kaping sepisan dipuncanangaken dening senator Amerika Serikat, Gaylord Nelson, ing taun 1970.
          Pendhudhuk bumi sakpunika kathah ingkang mboten menggalihaken wigatosipun ngupakara kaliyan ngreksa lingkungan. Pengetan dinten Bumi umumipun dipuntindakaken kegiatan-kegiatan mbucal sampah ing panggenanipun, penghijauan kanthi nanem setunggal yuta uwit, tuwin ngirangi emisi gas ingkang saged dados polusi. Ananging, kesadaran pendhudhuk awit wigatosipun ngupakara lingkungan, taksih kirang. Kegiatan ngupakara lingkungan saenipun mboten namung dipuntindakaken ing tanggal 22 April, ananging ugi ing dinten-dinten liyanipun.
            Para Bapak, para Ibu, sarta rencang-rencang ingkang satuhu bagya mulya, dipunbetahaken upaya kagem nuwuhaken kesadaran pendhuduk ing bab lingkungan. Mangertos bebaya ingkang dipundamel amargi dedamel rerisak ing bumi kedah damel kita sedaya sadar ugi nggatosaken dhumateng lingkungan. Bumi ingkang sae, ugi kagem saenipun panggesangan makhluk hidup ing bumi punika.
          Para Bapak, para Ibu, sarta rencang-rencang sedaya, wigatosipun ngupakara ugi nngreksa lingkungan wonten ing Bumi punika  mujudaken lingkungan ingkang sae kagem kita sedaya. Kita boten pareng damel rerisak ing bumi, amargi bumi punika kedah dipunupakara.
          Para Bapak, para Ibu, sarta rencang-rencang sedaya, cekap semanten ingkang kula aturaken. Mbokbilih kathah ingkang kirang mranani penggalih panjenengan, kula nyuwun pangaksami. Matur nuwun.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.